exclusivemails.net

Seorang anak dan segenggam paku

Ada seorang anak berusia belum genap 7 tahun, diberi oleh Ayahnya sekantung penuh paku dan sebuah martil kecil. Sang Ayah menyuruhnya untuk menggunakan sekantung paku itu dengan cara memaku ke pagar kayu disekeliling rumah dan pohon-pohon disekitarnya, dan mempelajari hikmah apa yang dapat diambil dari kejadian yang dialami. Si Anak hanya boleh menggunakan satu paku yang digunakan hanya untuk setiap kali si Anak kehilangan kesabaran atau sedang berselisih dengan seseorang. Sekedar tau aja, bahwa si anak ini memiliki prilaku yang bisa dibilang badung, sifatnya gampang bete alias pemarah.
Pada hari pertama setelah si anak menerima sekantung paku itu, dia sudah menghabiskan lebih dari 30 batang paku, yang dia tancapkan dipohon, dan dia pakukan dipagar kayu disekeliling rumah. Bisa dibayangin, berapa banyak masalah pada hari itu yang dihadapi oleh si anak, sehingga dia menjadi emosi, bete, gak sabaran, dan akhirnya marah-marah gak jelas.
Hari berikutnya, si anak sudah mulai mempelajari apa yang menjadi pesan dari kejadian yang dia lakukan sehari sebelumnya. Dia mulai mengendalikan emosi dan amarahnya. Dia mulai belajar bersabar dan menahan diri. Itu bisa dilihat dari banyaknya paku yang dihujamkannya ke pagar dan pohon dimana jumlahnya sudah jauh berkurang (jauh lebih sedikit) dari pada hari – hari awal dia mendapatkan sekantung paku tersebut. Apa yang didapat si anak ? Ternyata, si anak mendapati situasi yang jauh lebih mudah menahan diri daripada memaku dipagar.
Beberapa minggu kemudian, tibalah saat dimana si anak itu tidak perlu lagi memaku pagar maupun batang pohon dengan sebuah pakupun. Bukan karena pakunya sudah habis, melainkan karena si anak sudah dapat mengendalikan diri. Dengan gembira dia segera bergegas menjumpai ayahnya untuk memberitahukan hal ini.
Si ayah ikut senang dengan hasil yang dicapai anaknya. Tapi kemudian si Ayah memberi perintah baru kepada si anak untuk mencabuti semua paku-paku yang telah ditancapkannya di pagar dan pohon tersebut. Si anak harus melakukannya setiap hari satu paku setiap kali dia bisa menahan diri dan bersabar. Si anak dengan patuh menjalankan perintah ayahnya.
Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya tidak ada sebatang pakupun yang menancap di pagar maupun di pohon alias sudah tercabut semua. Sekali lagi dengan penuh keceriaan, si anak menghampiri ayahnya untuk memberitahukan hal ini. Tapi si anak masih belum memahami makna sebenarnya dari tugas yang diberikan oleh si Ayah, yang telah diselesaikannya. Si Ayah memahami kondisi anaknya yang lagi kebingungan itu.
Dengan telaten dan kesabarannya, si Ayah membimbing anak itu untuk melihat pagar dan pohon-pohon yang pernah dipaku oleh si anak.
“Sayangku…, kamu telah berbuat baik….bahkan menurut ayah, itu sangat baik… Tapi coba lihat…, betapa banyak lubang yang ada di pagar maupun pohon itu… Pagar maupun pohon ini tidak terlihat seperti semula yang tanpa lubang bekas paku.. Kalau kamu berselisih paham, atau bertengkar dengan orang lain, itu selalu meninggalkan luka…., seperti lubang bekas paku di pagar dan pohon itu… “
“Kamu bisa menusukkan pisau tajam ke punggung orang lain kemudian menarik atau mencabut kembali…Kamu dapat melakukan berulang-ulang hal seperti itu… kepada siapa aja, tapi hal itu selalu dan pasti meninggalkan luka… luka yang pastinya sangat perih dan sakit…., tak peduli berapa kali kau meminta maaf ataupun menyesal…luka itu tetap tinggal disana.”
“Khan bisa di obati Yah…?”
“Betul…kamu benar sayang… Memberi obat pada luka dapat menyembuhkan luka itu, tapi obat itu tidak pernah bisa menghilangkan bekas luka yang ditimbulkan, apalagi ingatan terhadap kejadian yang menyebabkan seseorang itu terluka….”
“Luka yang ditimbulkan oleh ucapan…, juga sama sakitnya dengan luka fisik.. bahkan beberapa diantaranya jauh lebih perih dan lebih sakit dari luka fisik. Tapi…, harus kamu ingat, sahabat sejati adalah perhiasan langka, karena sahabat tidak akan pernah membohongi apalagi sampai melukai. Mereka justru bisa membuatmu tertawa, dan memberimu semangat serta dukungan saat kau sedang bersedih dan terpuruk, ia bersedia mendengarkanmu jika kau perlukan…”
Renungan selama Ramadhan kemaren, juga sangat menambah keyakinan, bahwa berbuat sesuatu yang baik itu tidak semudah kelihatannya, meskipun bertujuan atau bermaksud baik. Seperti cerita diatas, dalam kenyataan sering kali kita tanpa sadar…, tanpa sengaja…, sudah melukai dan menyakiti orang lain. Baik secara langsung dengan tindakan, maupun secara tidak langsung yang biasanya terjadi melalui perkataan yang menyinggung perasaan. Atau kita juga bisa saja menyakiti seseorang dengan janji yang kita ingkari sendiri. Sementara orang itu menunggu dan berharap akan terwujudnya janji itu.
Aku jadi ingat kejadian satu tahun yang lalu, dimana pada saat itu aku sedang berkunjung kerumah seorang sahabat yang kebetulan memiliki anak yang masih berumur sekitar 5 tahun. Kata para ahli, pada usia itu, seorang anak sedang memiliki memori yang begitu kuatnya. Ingatannya berada pada posisi top level (top performance). Sehingga banyak hal yang dapat direkam, diingat sampai dia dewasa. Bahkan beberapa diantaranya dapat mempengaruhi perkembangan prilakunya.
Ketika itu anak sahabatku itu sedang bermain di teras depan rumah, bersama anak bungsuku. Kebetulan mereka seumuran. Mereka berlari kesana – kemari seperti tidak ada capenya. Sampai-sampai suara para ibu itu tidak dihiraukan sama sekali. Selang beberapa saat, tanpa disadari mereka bermain berlarian kedalam rumah, sementara saat itu secara bersamaan aku sedang meregangkan kaki disela-sela aku duduk, kemudian anakku tersandung kakiku dan terjatuh. Ada luka memar di pelipis dan lutut yang sedikit lecet. Serta merta dia menangis sekencang-kencangnya… dan baru diam setelah istri sahabatku menjanjikan sesuatu. Anakku dijanjikan akan dibelikan mainan mobil-mobilan kalo gak nangis lagi. Kondisi sebenarnya pada saat itu, hingga kami pulang kerumah, anakku tetep tidak mendapat mainan yang dijanjikan.



0 komentar:

Posting Komentar

Tukar Link Otomatis


ShoutMix chat widget